LIDDA shall Clause Samples

LIDDA shall. 1.2.1 contact with the individual or LAR prior to the completion of Form 1049, Documentation of Provider Choice. 1.2.2 For an individual who is being enrolled in the TxHmL Program, ensure the LIDDA service coordinator facilitates the completion of Form 8586, TxHmL Service Coordination Notification. 1.2.3 Maintain the following completed forms in the record: A. Form 8648, Identification of Preferences; B. Form 8601, Verification of Freedom of Choice; C. Form 8001, Medicaid Estate Recovery Program; D. Form 1049, Documentation of Provider Choice; E. Form 8586, TxHmL Program Service Coordination Notification if applicable; and F. Form 8511, Understanding Program Eligibility. 1.2.4 LIDDA must request an extension for the enrollment if the designated time frames cannot be met. HHSC will review all request for an enrollment extension using Form 1045, Request for Extension of Enrollment Offer Due Date and notify LIDDA accordingly.
LIDDA shall. 1.2.1 Not allow any of the LIDDA’s staff from its provider operations to initiate contact with the individual or LAR prior to the completion of the Documentation of Provider Choice form. 1.2.2 For an individual who is being enrolled in the TxHmL Program, ensure the LIDDA service coordinator facilitates the completion of Form 8586 (TxHmL Program Service Coordination Notification). (a) Verification of Freedom of Choice form; (b) Documentation of Provider Choice form; and (c) Texas Home Living Program Service Coordination Notification (Form 8586), if applicable. (d) for an individual who is being enrolled in the HCS or TxHmL Program, ensure the LIDDA service coordinator facilitates the completion of form 8511 (Understanding Program Eligibility).
LIDDA shall contact with the individual or LAR prior to the completion of Form 1049, Documentation of Provider Choice.
LIDDA shall. Not allow any of the LIDDA’s staff from its provider operations to initiate contact with the individual or LAR prior to the completion of the Documentation of Provider Choice form.

Related to LIDDA shall

  • The Supplier shall (a) Process the Personal Data only in accordance with instructions from the Authority to perform its obligations under this Framework Agreement; (b) ensure that at all times it has in place appropriate technical and organisational measures to guard against unauthorised or unlawful Processing of the Personal Data and/or accidental loss, destruction, or damage to the Personal Data; (c) not disclose or transfer the Personal Data to any third party or Supplier Personnel unless necessary for the provision of the Goods and/or Services and, for any disclosure or transfer of Personal Data to any third party, obtain the prior written consent of the Authority (save where such disclosure or transfer is specifically authorised under this Framework Agreement); (d) take reasonable steps to ensure the reliability and integrity of any Supplier Personnel who have access to the Personal Data and ensure that the Supplier Personnel: (i) are aware of and comply with the Supplier’s duties under this Clause 24.5.2 and Clause 24.2 (Confidentiality); (ii) are informed of the confidential nature of the Personal Data and do not publish, disclose or divulge any of the Personal Data to any third party unless directed in writing to do so by the Authority or as otherwise permitted by this Framework Agreement; and (iii) have undergone adequate training in the use, care, protection and handling of personal data (as defined in the DPA); (e) notify the Authority within five (5) Working Days if it receives: (i) from a Data Subject (or third party on their behalf) a Data Subject Access Request (or purported Data Subject Access Request), a request to rectify, block or erase any Personal Data or any other request, complaint or communication relating to the Authority's obligations under the DPA; (ii) any communication from the Information Commissioner or any other regulatory authority in connection with Personal Data; or (iii) a request from any third party for disclosure of Personal Data where compliance with such request is required or purported to be required by Law; (f) provide the Authority with full cooperation and assistance (within the timescales reasonably required by the Authority) in relation to any complaint, communication or request made (as referred to at Clause 24.5.2(e), including by promptly providing: (i) the Authority with full details and copies of the complaint, communication or request; (ii) where applicable, such assistance as is reasonably requested by the Authority to enable the Authority to comply with the Data Subject Access Request within the relevant timescales set out in the DPA; and (iii) the Authority, on request by the Authority, with any Personal Data it holds in relation to a Data Subject; and (g) if requested by the Authority, provide a written description of the measures that the Supplier has taken and technical and organisational security measures in place, for the purpose of compliance with its obligations pursuant to this Clause 24.5.2 and provide to the Authority copies of all documentation relevant to such compliance including, protocols, procedures, guidance, training and manuals.

  • Pendahuluan Reformasi dalam bidang hukum ketenagakerjaan dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki ▇▇▇ meningkatkan mutu tenaga kerja serta kesejahteraan tenaga kerja. Reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan diawali dengan dikeluarkannya Undang- undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang kemudian diikuti dengan keluarnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam pelaksanaannya pada waktu sekarang ini, tujuan dari reformasi peraturan hukum di bidang ketenagakerjaan yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan rasa keadilan ▇▇▇ perlindungan terhadap perkeja/buruh serta untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk melakukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya ▇▇▇ pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, ▇▇▇ untuk meningkatkan harkat, martabat ▇▇▇ harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, ▇▇▇▇, makmur ▇▇▇ ▇▇▇▇▇▇ ▇▇▇▇ materil maupun sprituil belum berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem PKWT ▇▇▇ outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi ▇▇▇ manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Penyebab terjadinya hal tersebut dikarenakan oleh berbagai faktor, ▇▇▇▇▇▇ ▇▇▇▇ adalah perkembangan perekonomian yang demikian cepat sehingga perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan ▇▇▇▇ ▇▇▇▇▇ lebih ▇▇▇▇ dengan biaya yang lebih murah untuk dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar- besarnya. Hal itu mengakibatkan banyak perusahaan yang mengubah struktur manajemen perusahaan mereka agar menjadi lebih efektif ▇▇▇ efisien, serta biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya lebih kecil, di mana salah satunya adalah dengan cara memborongkan pekerjaan kepada pihak lain atau dengan cara mempekerjakan pekerja/buruh dengan system Outsourcing (Alih Daya) ▇▇▇ PKWT . Outsourcing (▇▇▇▇ ▇▇▇▇) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan ▇▇▇ penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 ▇▇▇ 66) ▇▇▇ Keputusan Menteri Tenaga Kerja ▇▇▇ Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (▇▇▇▇ ▇▇▇▇) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap. Sebenarnya tidak ada larangan hukum bagi perusahaan untuk menerapkan system Outsourcing (Alih Daya) ▇▇▇ PKWT, ▇▇▇▇▇▇ semua itu sudah diatur secara jelas ▇▇▇ ▇▇▇▇▇ oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. ▇▇▇ ▇▇▇▇ menimbulkan permasalahan adalah banyaknya terjadi pelanggaran dalam penerapan sistem PKWT terhadap pekerja outsourcing atau dengan kata lain PKWT terhadap pekerja outsourcing yang dilaksanakan tidak sesuai atau bahkan tidak mengacu kepada aturan PKWT yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam prakteknya di lapangan, selain penerapan PKWT terhadap pekerja outsourcing yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem PKWT terhadap pekerja outsourcing yang dilaksanakan juga sangat merugikan pekerja. Sebagai contoh, banyak pengusaha yang melakukan pelanggaran dengan memakai pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang bersifat tetap/permanen di perusahaannya. Penegakan hukum terhadap keadaan ini juga menjadi sebuah dilematis tersendiri. Hal tersebut karena saat ini keadaannya adalah tingkat pengangguran sangat tinggi. Jadi, secara logika akan terpikir mana yang lebih baik dari menyediakan lapangan kerja untuk banyak orang dengan gaji yang kecil ▇▇▇ syarat kerja serta ketentuan kerja yang tidak memadai atau menggaji sedikit pekerja dengan gaji ▇▇▇▇ ▇▇▇▇ akan tetapi hanya memberikan sedikit lapangan kerja serta membuat banyak pengangguran. Karena idealnya adalah menyediakan banyak lapangan kerja dengan gaji yang wajar/layak. Penerapan sistem PKWT terhadap pekerja outsourcing yang pada akhirnya banyak digunakan oleh pengusaha tidak dapat dipisahkan dari banyaknya regulasi serta peraturan yang memungkinkan perusahaan menerapkan sistem tersebut. Dikarenakan telah terjadi banyak penyimpangan terhadap sistem tersebut, maka permohonan Judicial Review atas UU No.13 tentang Ketenagakerjaan telah dilakukan ▇▇▇ Mahkamah Konstitusi dalam hal ini telah memutuskan dalam Putusan No. 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan mekanisme PKWT terhadap objek pekerjaan yang bersifat tetap meskipun pekerjaan tersebut sifatnya penunjang ▇▇▇ pekerjaan inti perusahaan tetap dianggap bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 karena normanya harus dipandang sebagai revisi hukum perburuhan yang sangat berarti bagi dunia kerja ▇▇▇ dunia usaha. Adapun amar putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tersebut berbunyi sebagai berikut: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) ▇▇▇ ▇▇▇▇▇ “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan ▇▇▇-▇▇▇ ▇▇▇▇ pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; Perlu diketahui bahwa Keputusan MK tersebut tidaklah mencabut keberlakuan Pasal yang mengatur mengenai outsourcing, namun hanya membatasi agar kepentingan para pekerja outsourcing dengan PKWT ini tetap mendapatkan perlindungan. Keputusan MK ini juga telah ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja ▇▇▇ Transportasi (Kemena- kertrans) dengan menerbitkan Surat Edaran No: B.31/PHIJKS/I/2012 tentang pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi No27/PUU- IX/2011. Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan. Dari sejumlah pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi itu, satu ▇▇▇ ▇▇▇▇ menarik ▇▇▇ semestinya menjadi fokus bagi pemerintah untuk melakukan revisi atas UU No 13 Tahun 2003 adalah pertimbangan Mahkamah Konsitusi yang menyebutkan, bahwa untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan ▇▇▇ perlindungan atas ▇▇▇-▇▇▇ pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan ▇▇▇ ▇▇▇▇ ▇▇▇▇ ▇▇▇▇▇, ▇▇▇ untuk meminimalisasi hilangnya ▇▇▇-▇▇▇ konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan ▇▇▇ jaminan ▇▇▇ ▇▇▇▇ pekerja/buruh. Dalam hal ini ▇▇▇ ▇▇▇ model ▇▇▇▇ dapat dilaksanakan untuk melindungi ▇▇▇-▇▇▇ pekerja/buruh. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

  • Construction Administration Phase Delete the following paragraph if Submittal Exchange isn’t going to be used:

  • Department’s Contract Manager The Department’s Contract Manager, who is primarily responsible for the Department’s oversight of the Contract, will be identified in a separate writing to the Contractor upon Contract signing in the following format: Department’s Contract Manager Name Department’s Name Department’s Physical Address Department’s Telephone # Department’s Email Address If the Department changes the Contract Manager, the Department will notify the Contractor. Such a change does not require an amendment to the Contract.